Saturday, December 18, 2010

Kamar yang Terkunci (Chapter One)

Hujan gerimis nan gelap terus turun di dataran tinggi Perancis sejak sore tadi. Barisan batu alam yang menjadi jalan setapak pedesaan Pornic di sebelah barat Nantes sudah menjadi cermin air yang memantulkan cahaya remang-remang lampu jalanan. Dinginnya udara di akhir November menambah suramnya suasana senja desa itu. Tak ada sorakan anak-anak bermain bola di hamparan rumput milik Monsieur Jaime atau dentingan sendok beradu dengan cangkir dari kumpulan ibu-ibu yang minum teh di teras Madam Elise.

Marie berjalan dengan tergesa-gesa sambil memegangi topinya yang nyaris terbang. "Angin sialan." batinnya dalam hati. Untung baginya, dia sudah sampai di ambang pintu rumahnya. Kehangatan perapian ditemani sup dan secangkir coklat panas sudah membayang di benaknya. "Ah, mandi air hangat akan sangat menyenangkan".

Pintu tua yang terbuat dari kayu hazel menyambut Marie di depan rumahnya. Rumah itu sudah berusia 150 tahun namun masih sangat indah. Bangunannya bergaya khas klasik lengkap dengan sebuah cerobong asap besar di bagian belakangnya. Bagian depan rumah adalah sepetak taman kecil yang dibelah oleh sebuah jalan setapak berbatu yang berujung di tiga buah undakan kayu menuju ke teras kecil tempat sepasang kursi malas berada.

Masuk ke dalam rumah, hal pertama yang selalu menjadi perhatian adalah sebuah lampu gantung dari abad ke 15. Rumor mengatakan bahwa lampu itu merupakan salah satu jarahan saat masyarakat menyerbu Versailles di masa Louis XIV. Keindahan lampu hias lima tingkat dengan untaian kristal imitasi yang memantulkan cahaya dari 40 buah lampu ini sungguh elegan dan menakjubkan.

Namun tidak di malam itu.

Marie yang masuk ke rumah basah kuyup terkejut ketika mendapati rumahnya gelap gulita. Tak setitik pun cahaya menerangi. "Anne! Mrs. Rivenna!" Marie memanggil dua penghuni rumah lainnya, namun hanya dijawab oleh gema dan keheningan.

Marie berjalan masuk lebih dalam sambil menyalakan lampu-lampu. Sedikit cahaya sangat membantu mengusir rasa takut walaupun tidak seberapa. Instingnya mengatakan dia harus pergi ke ruang makan, dan dia menurutinya. Namun hasilnya nihil. Marie terus memanggil Anne dan Mrs. Rivenna. "Anne! Berhenti bergurau! Apa yang kau lakukan?! Keluarlah!" namun semua usahanya tidak merubah apapun.

Kecemasan makin meliputi hati Marie. Dari ruang makan dia berjalan menyusuri koridor berhiaskan rak yang berisi bermacam-macam hiasan kaca dan foto keluarga menuju ke kamar Anne di ujung koridor.

Terkunci.

"Anne!" tak ada jawaban dari dalam. Ketika Marie akan berbalik ke kamarnya, dia melihat sesuatu yang aneh di pintu "Darah!" pikirnya. Saat itu juga dia berlari ke rumah Mr Heindrich untuk meminta tolong.

Datanglah Mr Heindrich dan anaknya Joleon. Marie memutuskan untuk mendobrak pintu kamar Anne karena dia melihat ada yang tidak beres dengan adanya noda darah di pintu.

Joleon mengambil jarak dari pintu, dan dengan segenap kekuatan menghempaskan tubuhnya yang tinggi besar ke pintu. Dan pintu pun terbuka.

"Oh Tuhan"



Bersambung :-D

No comments:

Post a Comment