Sunday, December 12, 2010

Nayna

Aku hanya bisa menangis dan berteriak sambil memanggil namanya di dalam hati kecilku. “Nay, Nay, Nay. Mengapa kau harus datang dalam hidupku?”

Lalu kuingat kembali, ternyata dia memang selalu ada dalam hidupku sejauh yang kuingat. Dulu saat kami masih TK, bisa dianggap kami adalah teman. Takdir kembali mempertemukan kami di SD. Bahkan aku punya beberapa foto kelas untuk membuktikannya. SMP pun tak jauh berbeda, kami kembali menjadi teman sekelas. Di SMA pun kami masih terus bersatu. Aneh memang, tapi Tuhan berkehendak demikian. Tapi, mata hatiku tak menyadarinya. Aku terlalu sibuk dengan kompetisi basketku dan mengikuti perkembangan gadget terbaru. Bisa dibilang, aku tenggelam dalam “kehidupan para cowok.” Tapi sekarang setelah aku dekat dengan seorang wanita yang sempat mengisi relung hatiku, tak ada hal lain yang ingin kulakukan selain terus menangis dan meratapi kejamnya cinta kepadaku. Tak biasanya aku bertingkah seperti ini. Tapi, hal ini terjadi setelah aku jatuh cinta selama satu semester ini. Dan rasa sakitnya sama sekali tak tertahankan. Aku takkan anggap hal ini indah: semua yang kutahu tentang dia, cinta dan wanita telah kupelajari selama 6 bulan ini. Karena rasa sakit yang ditinggalkan lebih dahsyat dari perasaan yang kurasa saat kami bersama. Saat berusia 18 tahun dan dimabuk indahnya cinta, enam bulan terasa seperti seumur hidup. Sebelum hari ini aku bahagia. Namun, karena omong kosong cinta enam bulan yang lalu kebahagiaan itu lenyap seperti lenyapnya buih di atas air.

Sebenarnya, hidupku penuh dengan warna. Les bahasa Inggris, main video game dan nongkrong dengan kawan-kawan menjadi hobiku setelah basket. Aku dan ayahku telah sepakat bahwa aku akan menjadi Tiger Woods-nya basket SMA. Dan ayahku sebagai pelatih pribadi terbaik buatku. Walaupun sebenarnya ayah sama sekali ngga punya modal apapun untuk jadi pelatih basket yang baik, namun ayahku punya semangat untuk terus teriak-teriak di pinggir lapangan mengkritik setiap langkah yang salah dari diriku. Perjalanan hidupku tak pernah jauh melenceng dari hal-hal tadi. Menurut teman-teman, aku mempunyai kehidupan yang indah. Aku pun setuju, seandainya gadis bernama Nayna itu tidak datang ke hatiku.

Kisah datangnya Nayna ke dalam hatiku dimulai suatu sore. Langit hitam kelam dan hujan turun seperti tangis anak Adam di pemakaman. Angin pun seperti sudah lelah untuk bekerja menghalau awan tadi. Akhirnya bumi harus pasrah dimandikan jutaan galon air dari langit saat itu.

“Yah, minggu depan si Deni ultah ni... Dia ngajak kita sekelas ke villa bapaknya di Puncak. Boleh ya?” kataku pada ayahku.

“Sekelas? Banyak amat? Mana cukup villa ayah Deni buat temen kamu sekelas?”
Ayahku selalu lupa kalau yang namanya kelas internasional di sekolahku hanya diisi oleh 20 anak super gokil yang hidup di zaman ini.

“Yah, Ayah kan tau, bapaknya Deni itu bos minyak dari Medan! Yang mereka bilang villa itu sebenernya sama mewahnya dan sama gedenya dibanding rumah tinggal mereka Yah. Ayah pernah kan di undang resepsi Kak Uci di rumah Deni. Lagian temen sekelasku kan Cuma 20 orang.”

“Terus, kamu mau berangkat hari apa, naik apa, sama siapa, dan kapan pulang?”
Sifat ayah yang sangat hobi menginterogasi orang dengan jutaan pertanyaan kumat lagi. Aku berkata dalam hati “Sabar Yud, demi liburan besok.”

“Urusan transportasi dan segalanya sudah diurus si Deni. Mobilnya aja ada tiga. Beres deh Yah. Oh iya, kita berangkat hari Jumat sore, pulang hari Minggu sore. Senin sudah bisa sekolah Yah.” Jawabku. Sekolahku hanya menggunakan 5 hari untuk kegiatan sekolah, sehingga hari Sabtu dan Minggu sekolahku libur.

“Ok. Pokoknya sekolah kamu tetap jadi prioritas dan ngga kamu lupakan. Gak ada alasan untuk absen hari Senin. Satu lagi, jangan terlalu capek di sana. Awas kalau kamu sakit!”

“Beres Yah! Thanks ya!”

Hari pun berlanjut menggiringku ke penghujung siang pada hari Jumat yang telah lama kunantikan. Ketika aku sampai di rumah Deni, sudah ada si Rivan dan Fadlan yang asyik ngusilin kucing Deni yang lucu. Kami dengan sabar menunggu datangnya teman-teman yang lain. Satu, dua, tiga, dan seterusnya teman temanku mulai bermunculan. Tiba-tiba kulihat di ambang pintu seorang gadis dengan rambutnya yang hitam terurai yang sudah tidak asing bagiku, Nayna berjalan ke arah kami yang sedang nyanyi-nyanyi parau tanpa melodi yang jelas.

“Sorry ya, aku baru datang. Pak Heri telat jemput aku.”

Aku merasa senang melihat wajah imut familier itu diantara puluhan wajah yang mayoritas mencerminkan kenarsisan dan kenorakan.

Perjalanan ke puncak pada hari itu benar-benar luar biasa macet. Namun semuanya tidak terasa karena selama di mobil kami terus mendengarkan ocehan Deni yang tak henti-hentinya mengocok perut kami. Si Feni aja sampai hampir muntah karena tersedak saat Deni menceritakan tentang temannya di Bali yang belajar surfing dengan orang gila. Tak terasa, 4 jam perjalana sudah kami lalui. Sesampainya di sana kami langsung makan malam dan menghabiskan waktu malam dengan main poker atau tebak-tebakan, kemudian setelah semuanya lelah, 20 anak itu pun jatuh ke dalam buaian mimpi di malam yang dingin menggigit di Puncak.

Hari pun berganti. Sabtu itu kami habiskan dengan jalan-jalan di sekitar kawasan Puncak. Kemudian hari kembali berputar membawa kami ke penghujung hari pada setiap minggunya, hari Minggu; hari terakhir kami di Puncak. Deni mengumpulkan kami semua di halaman rumahnya yang sebesar lapangan tenis di pagi buta. Hampir semua anak turun mengenakan piyama masing-masing lengkap dengan rasa ngantuk yang ada. Minni melengkapi kostumnya dengan membawa serta bantal yang dia pakai tidur malam itu.

“Teman-teman, hari ini kita main-main!! Udara segar di pagi hari seperti ini jangan hanya kita lewatkan dengan bermalas-malasan! We play the game!!” seru Deni dengan sangat bersemangat. Namun tampaknya semangat Deni tidak disambut dengan baik oleh anak-anak yang lain. Bisa dilihat beberapa wajah-wajah ngantuk menutup mulut saat menguap ketika mendengar “kuliah subuh” Deni. Deni berkata lagi, “Silakan masing-masing kalian cari pasangan untuk game ini. Kita main game bakiak untuk menyegarkan badan terlebih dahulu!”. Kemudian segara saja tubuh-tubuh malas itu bergerak mencari pasngan untuk menuruti kemauan Deni. Petaka terjadi ketika aku tidak menemukan seorang pun datang menghampiri aku untuk meminta menjadi pasanganku. Dua puluh detik yang penuh siksaan. Lalu kulihat Nayna mengalami hal yang sama denganku. Dia pun melihat ke arahku kemudian tersenyum dengan manis dan bertanya, “Yudha, kamu mau kan main sama aku?” Wow. Baru kali ini aku berhadapan langsung dengan Nayna dalam keadaan seperti ini. Aku merasakan sesuatu yang lain dari biasanya; tak tahu apa. Di dalam hati aku berkata “Gile! Gua nggak pernah tau kalo cewek bisa secantik ini!” Di dalam dadaku berkecamuk berbagai pikiran positif maupun negatif. Tanpa bisa berucap apa-apa lagi, akhirnya kukatakan dua huruf yang menurutku menjadi awal siksaan batinku, “Ok.”

Aku sama sekali tak bisa mengkonsentrasikan diriku dengan keadaan sekitar. Briefing Deni sama sekali tak kuhiraukan. Kecantikan Nayna membuatku seakan terbius menjadi selemah semut kecil. Geraian rambutnya yang harum sesekali membuai wajahku ketika Nayna memutar badannya saat berbicara denganku dan Fadlan. Puncaknya terjadi ketika giliranku dan Nayna untuk bermain tiba. Nayna memilih posisi di depan, aku mendapat jatah di belakang. Pikiranku masih terus melayang tidak jelas. Seorang Nayna yang sekarang berdiri di depanku seakan menjadi cewek pertama yang aku temui di muka bumi. “Heran, ni anak kan udah lama gue kenal. Kenapa sekarang gue jadi ngerasa aneh gini sih?” sebuah pertanyaan dari dalam diriku yang tak terjawab saat itu.

Start dimulai. Beberapa detik kemudian aku jatuh terjerembab karena kehilangan keseimbangan bakiak. Anehnya, rasa sakit yang kurasakan langsung hilang karena tembok pertahanan di hatiku juga runtuh karena pesona Nayna. Kakiku terkilir. Timku kalah. Semuanya tidak terasa sakit atau mengecewakan karena terbius dengan keindahan makhluk yang sekarang berdiri di depanku.

“Kamu ngga apa-apa kan Yud?” kata Nayna yang dikerumuni semua anak.

“Ngga apa-apa kok. Cuma terkilir sedikit. Nanti juga sembuh.” kataku. Kakiku terkilir, dan aku harus dibantu untuk bangun kemudian berjalan balik ke villa.
Aktifitas hari itu berakhir. Waktu-waktu berikutnya di puncak kami habiskan untuk menghabiskan semua bekal yang ada dan beristirahat untuk mempersiapkan diri memulai minggu baru yang penuh kisah.

* * *

Di sekolah, aku terus memikirkan kejadian kemarin. Akhirnya aku putuskan untuk menceritakan semuanya pada sahabat terbaik yang pernah kupunya, Rendy. Dengan segenap pengalaman tentang cinta yang dimilikinya, Rendy pun akhirnya menyarankan aku untuk langsung “nembak” Nayna.

“Yudha.....Yudha, mendingan lo langsung aja tembak tu cewek. Pasti dia nggak nolak. Tampang lo kan lumayan, kepribadian bisa ditawar, duit tebel, terus dia mau nuntut apa lagi? Udah deh, percaya sama gue.”

“Ren, gue nggak tau cara nembak cewek. Ngadepin cewek dalam kondisi seperti itu aja perut gue mules!”

“Tenang Yud, Rendy siap membantu.”

Setelah kursus kilat selama seminggu tentang cara memperlakukan dan nembak cewek dari Rendy, akhirnya aku mengatur waktu yang tepat untuk nembak. Bisa dibilang usahaku cukup gila karena semua ini berlangsung terlalu cepat menurutku, dan lagi aku dan Nayna selama ini hanya menjadi teman yang tidak spesial. Hanya saja, selama seminggu ini aku melakukan pendekatan yang intensif supaya tidak terlihat terlalu norak. Walaupun agak janggal, “Tapi, apa salahnya dicoba!” begitu kata Rendy.

* * *

Hari “H” tiba. Menurut rencana yang sudah kubuat, Nayna akan “kutembak” sepulang sekolah.

Sepulang sekolah, pada hari kamis yang panas suara degup jantungku mungkin bisa mengalahkan suara marching band anak TK saking kerasnya. Perutku mual tidak karuan rasanya. Rendy yang terus berkicau tentang macam-macam hal tidak bisa menenangkan perasaanku. Lebih tepatnya Rendy memperparah kacaunya diriku karena dia malah bercerita tentang sakitnya ditolak oleh cewek pujaan hatinya. “Oh Gosh” batinku.

Aku tampil necis dan wangi untuk satu tujuan: Nayna. Dia keluar dari kelasnya bersama Ninda sahabatnya. Nayna tampak sangat manis dengan pita ungu yang menyibakkan sebagian rambutnya. Walaupun dia telah melalui hari yang berat dan panjang di sekolah, guratan keceriaan masih selalu terpancar dari wajah berlesung pipinya. “Nay, bisa ngomong sebentar?” kataku sambil mengedip kepada Ninda yang telah kuberitahu tentang rencanaku sebelumnya.

“Boleh.” jawabnya singkat.

Kemudian mulailah dengan sedikit berbasa-basi, aku keluarkan semua jurus-jurus ampuh yang sudah aku pelajari, aku sebutkan kata demi kata yang puitis persis seperti yang diajarkan Rendy pada Nayna yang tampak santai menanggapi diriku. Nyaris tanpa ekspresi! Dalam hati aku terus bertanya “Jangan-jangan aku dianggap gombal dengan kata-kataku ini? Nayna ngerti ngga ya maksud omonganku? Do I look good? Aku ditolak atau diterima?”

“So, aku tunggu jawabanmu.” aku tutup kata-kataku dengan kalimat itu.

Tak disangka, Nayna hanya tersenyum simpul sambil menjawab “Mungkin aneh juga sich, tapi.... okelah.”

AKU DITERIMA!! “Secepat itukah????? Tapi, peduli amat!” pikirku. Hatiku berbunga-bunga seindah bunga di Istana Bogor. Perasaan dalam hatiku tidak bisa diungkapkan. Nayna, temanku sejak TK akhirnya menjadi pelabuhan hati pertamaku. Kami berjalan beriringan meninggalkan sekolah. Kebahagiaan meliputiku serasa tidak ada ujungnya. Rasanya aku akan memberikan segalanya pada Rendy sebagai wujud terima kasihku atas sarannya.

* * *

Roda kehidupan terus berjalan seperti biasa. Hubunganku dengan Nayna sudah berjalan selama sekitar 5 bulan. Semuanya berjalan begitu indah. Nonton, tugas sekolah, jalan-jalan, hujan-hujanan, semuanya sudah kita lalui berdua dan semuanya terasa indah. Aku merasa dunia pun merasakan betapa bahagianya hatiku selama 5 bulan ini. Walaupun sesungguhnya ada sesuatu tak terduga yang sudah diambang pintu yang akan merusak segalanya, namun aku sama sekali tak menyadarinya sebelum segalanya terjadi.

Seperti biasa, siang itu aku mengantar Nayna pulang dari sekolah. Perjalanan sejauh hampir 4 km itu kami lalui nyaris dalam keheningan senyap. Tak banyak kata-kata yang bisa dibicarakan. Sesampai di rumah Nayna, aku memulai pembicaraan, “Minggu depan udah mid semester nih, Nay. Keliatannya seminggu ini kita ngga’ bisa hang out bareng dulu. Ntar selesai mid aku ajak kamu jalan-jalan lagi.”

“Iya deh.. Kita fokus buat mid semester dulu ya..”
Akhirnya kita janjian untuk selama seminggu tanpa chat dan smsan selain hal yang benar-benar penting. Walaupun aku sudah berpikir untuk curi-curi kesempatan sms untuk sekedar sok jadi motivator, tapi sebisa mungkin aku akan mencoba menepati janji yang kami buat. “Gentleman gituuu!!” kataku dalam hati.

* * *

Ternyata rindu karena cinta memang jauh lebih berat dari sekedar rindu biasa. Di hari Sabtu terakhir mid semester, akhirnya aku memutuskan untuk menelefon bidadariku.

“Halo.. Nay??”
Suara di seberang telefon serasa berat dan agak tertahan. Terdengar suara senggukan dan nafas yang agak tersengal-sengal.

“Nay? Haloo...”

“Yud, Chandra tadi ke rumahku.” jawab Nayna sambil masih terdengar menangis.

“Oh my God... Ngapain lagi tu anak?” tanyaku dalam hati. Chandra adalah mantan Nayna yang sudah dipacarinya sejak SMP. Mereka putus dengan sangat halus dan tanpa konflik, hanya karena mereka berpisah sekolah dan Nayna merasa bahwa sebaiknya Chandra lebih berkonsentrasi pada sekolahnya karena Chandra memang hanya merupakan murid berkemampuan rata-rata, namun harus diakui, berhati malaikat. Kuberanikan diriku untuk bertanya pada Nayna, “Trus, ada apa Nay?”

“Yud, sorry. Aku ngga’ bisa ngomong sekarang.”

Suara bip di handphone ku menutup malam itu dengan kegalauan yang dahsyat. Aku tak sabar menunggu sisa 10 jam rotasi bumi pada hari itu. Akhirnya kumatikan lampu dan kupejamkan mataku sambil terus memikirkan segala kemungkinan terburuk yang akan aku temui besok.

Pukul 8.15 pagi aku sudah menunggu di depan rumah Nayna dengan motorku yang baru kucuci bersih. Kemarin siang sepulang sekolah kami berencana untuk nonton pertandingan futsal kelas kami. Namun agaknya rencana indah itu akan lenyap karena kejadian semalam. Tak lama Nayna keluar dengan baju biru pucat ditemani dengan jaket jeans biru yang baru dibeli kemarin. Rambutnya dikucir ekor kuda dihias dengan dua buah jepit imut di kanan kirinya. Dia mengajakku masuk ke rumahnya dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak. Aku masih bertanya-tanya, apa yang terjadi antara dia dengan Chandra malam tadi.

“Yud, langsung aja. Tadi malam Chandra ke sini.”suaranaya terdengar kuat dan dewasa. “Dia ngajak aku balikan. Dan aku terima.”

Diantara sepersekian nanodetik jeda antara dua kalimat terakhir, kepalaku rasanya dipukul oleh sesuatu sebesar gunung Bromo. Setelah kalimat kedua keluar, kurasakan pukulan itu membenamkan aku ke dalam suatu jurang tanpa akhir. Aku bingung mau berkata apa. Yang ada hanya semua memori indah aku dengan Nayna yang berseliweran di kepalaku. Tak kusangka, dia begitu cepat mengakhirinya.

“Oke Nay. Memang aku tau Chandra ngga akan bisa tergantikan. So, it’s okay!” aku mengeluarkan sebuah senyuman yang bahkan orang idiot pun tahu kalau aku memaksakan senyuman itu. Namun menurutku daripada aku berlama-lama diam seribu bahasa tanpa jawaban akan membuat Nayna merasa bersalah. Bagiku, lebih baik diriku tersiksa secara batin daripada harus merusak kebahagiaan seseorang yang tempatnya masih melekat dalam sanubariku.

“Sorry ya, Yud...”

“It’s okay, Nay. Selamat ya, kamu udah dapet orang terbaik buat kamu. Tapi buat aku, masih belum ada dan mungkin ngga akan ada orang yang lebih baik dari kamu.”

Kami berdua terdiam sejenak. Agaknya kami sama-sama salah tingkah. Akhirnya aku berkata “Jadi nonton kan Nay? Masih mau bonceng aku as a friend?”

“Yap. Ayo berangkat. Ntar si Fadlan marah lo kalo kamu telat.”

* * *

Selesai pertandingan aku langsung pulang tanpa menghiraukan selebrasi kemenangan tim kelasku. Hatiku masih berat untuk menerima kenyataan yang datang begitu cepat berubah. Sakitnya tak terhingga. Aku pulang kemudian menangis sejadi-jadinya seperti bayi di kamarku. Kusesali singkatnya keberadaan Nayna dalam hidupku.

Mengagumkan cepatnya waktu berjalan. Kemarin kukira dia milikku. Tapi kini aku sama sekali bukan siapa-siapa. Kuputuskan, bahwa hal ini harus segera diakhiri dan aku harus tetap hidup seperti sebelum ada seorang Nayna dalam hatiku. Kuyakinkan diriku bahwa esok pagi semua hal yang terjadi akan mengagumkan. Matahari akan terbit kembali dan siap untuk menerima manusia yang berusaha memulai langkah baru dalam hidupnya. Sekarang, bagiku hidup lebih dari sekedar seorang Nayna. Aku akan mulai lembar baru kehidupanku, namun tanpa seorang Nayna di sisiku.

NB: ni cerpen aku buat waktu masih kelas 1 sma :D

No comments:

Post a Comment